gtrees.net

Gaduh Depresi di Kalangan Tenaga Medis, Kolegium Ilmu Penyakit Mulut Angkat Bicara

Close-up portrait of doctor in hospital operating room
Survey kesehatan jiwa terhadap calon dokter spesialis menuai polemik (Foto: Getty Images/graphixel)

Jakarta -

Survey terbaru Kementerian Kesehatan RI terhadap peserta didik Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) dan Dokter Gigi Spesialis (PPDGS) di RS Vertikal Pendidikan menuai polemik. PPDGS Penyakit Mulut disebut menempati peringkat teratas dari 5 program studi Sp1 (spesialis 1) dengan presentase gejala depresi terbanyak yakni 53,1 persen.

Ketua Kolegium Ilmu Penyakit Mulut Indonesia (KIPMI), Prof Dr Irna Sufiawati, drg, SpPM, Subsp.Inf, mengungkap temuan tersebut menimbulkan kebingungan dan memunculkan banyak pertanyaan di kalangan akademisi dan praktisi bidang terkait. Di antaranya terkait validasi survey, representasi sampel, hingga persetujuan etik sebelum hasilnya dipublikasikan.

"Dalam menyikapi hasil survei tersebut tentunya semua penyelenggara PPDGS IPM tersebut juga melakukan evaluasi terhadap para dosen, dokter penanggung jawab klinik, dan semua peserta didik," kata Prof Irna dalam keterangan tertulis yang diterima , Jumat (26/4/2024).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu yang disorot adalah data residen (peserta program pendidikan spesialis) Ilmu Penyakit Mulut yang disebut dalam survey yakni 32 orang. KIPMI, menurut Prof Irna mencatat hanya ada 27 residen PPDGS Ilmu Penyakit Mulut yang berpartisipasi dan sedang menjalani rotasi klinik di 2 RS Vertikal.

"Jadi terdapat selisih jumlah lima peserta, yang tidak dijelaskan siapa dan dari mana," jelas Prof Irna.

ADVERTISEMENT

Sementara itu, dr Shelly Iskandar, SpAkp, SpKJ, MSi, PhD dari Departemen Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr Hasan Sadikin menjelaskan bahwa Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9) yang digunakan dalam survey Kemenkes merupakan instrumen psikometri yang sering digunakan untuk skrining deteksi dini depresi di fasilitas kesehatan primer. Kuesioner tersebut mencakup 9 pertanyaan.

Menurut dr Shelly, instrumen PHQ-9 memang teruji dalam banyak studi terkait efektivitas dan keunggulannya. Namun aplikasi secara klinis masih menjadi subjek perdebatan di kalangan para ahli.

"Dampak dari hasil survei juga harus sangat diperhatikan agar tidak menimbulkan dampak negatif, seperti menurunnya minat calon peserta didik untuk mengikuti program studi spesialis," sorot dr Shelly.

Aulia Iskandarsyah, M.Psi, MSc, PhD, dari Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran menambahkan, instrumen yang digunakan dalam survey Kemenkes RI merupakan skrining awal dan pengisiannya dilakukan secara self report. Hasilnya dimaknakan sebagai informasi awal dan harus dikonfirmasi dalam beberapa aspek.

"Pertama, terkait dengan pemahaman dan keseriusan responden pada saat mengisi survei. Kedua, diperlukan konfirmasi dari klinikus di bidang kesehatan jiwa untuk bisa menegakkan diagnosis depresi," kata Aulia.

Menurut Aulia, temuan dari survey Kemenkes perlu disikapi dengan tepat dengan melakukan pemetaan faktor-faktor predisposisi dan faktor risiko lalu dikonfirmasi oleh klinikus di bidang kesehatan jiwa. Dengan pemaknaan yang benar, intervensi oleh pemerintah dan institusi pendidikan bisa tepat sasaran.



Simak Video "Deretan Penyakit yang Umum Didiagnosis Lewat Metode DSA"
[Gambas:Video 20detik]
(up/up)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat